Oleh : Yudi Sirojuddin Syarief
yusriefbineza@gmail.com
PENDAHULUAN
Salah satu
bukti kekayaan intelektual hasil dari asimilasi antara Islam dan Budaya Sunda
adalah Tafsir al-Qur’an berbahasa Sunda. Sejatinya Islam dan Sunda adalah dua
hal yang berbeda. Intensitas pergulatan antara Islam dan Sunda yang sangat
tinggi menyebabkan bukti kekayaan intelektual yang tidak sedikit. Setidaknya
sejak Penghulu Haji Hasan Mustapa hingga Hidayat Suryalaga tidak kurang dari 10
karya berhasil ditelurkan. Di antara karya-karya yang berhasil diterbitkan, ada
satu karya yang menjadi sorotan. Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an
Winangun Pupuh buah karya R. Hidayat Suryalaga.
Benyamin G.
Zimmer mengatakan :
“Tafsir Sunda baru yang barangkali
paling unik adalah yang disusun oleh R. Hidayat Suryalaga. Pada tahun 1994,
Hidayat menerbitkan tafsir juz 1, 2, 3, dan 30, lalu menerjemahkan juz-juz yang
lain, dengan judul Saritilawah Basa Sunda. Seperti Haji Hasan Moestapa
dan R.A.A. Wiranatakoesoemah V, Hidayat menggunakan bentuk dangding untuk
tafsirnya. Uniknya, Karya Hidayat ditulis khusus untuk dipertunjukkan dengan
musik tembang Sunda. Ketika diterbitkan Saritilawah Basa Sunda dilengkapi
dengan kaset-kaset tembang Sunda. Di samping itu ayat-ayatnya juga
dipertunjukkan oleh seniman Sunda dalam siaran Ramadhan TVRI Bandung pada bulan
Ramadhan tahun 2000.”[1]
Nurhidayah
Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh berarti Terjemah Al-Qur’an
dalam bahasa Sunda dalam bentuk pupuh.[2] Karya
ini merupakan Karya ini dipilih disebabkan beberapa hal : pertama, karya ini dihasilkan
pada penghujung abad ke-20. Kedua, penulis karya ini bukan berasal dari
kalangan pesantren, ketiga, mempunyai metode penafsiran yang khas, keempat,
menghasilkan penafsiran secara lengkap 30 juz, kelima, menghabiskan waktu 13 tahun
untuk menyelesaikannya.
BIOGRAFI PENULIS
Namanya Raden Hidayat Suryalaga, dilahirkan di
Ciamis tanggal 16 Januari 1941 dan meninggal 25 Desember 2010.[3]
Dia anak kesepuluh dari 11 bersaudara dari pasangan Bapak Raden Oesman Sadli
Soemadilaga dan Ibu Raden Padmi Soeradikara. Bapaknya seorang polisi yang sangat
mencintai kebudayaan Sunda. Ibunya adalah Ibu rumah tangga yang selalu mendidik
anak dengan tata krama Sunda. Kedua orang tuanya adalah seniman dan penghayat
kebudayaan, sehingga semua anaknya diharuskan menguasai pencak silat, tari,
nyanyi dan berbicara bahasa Sunda.[4]
Hidayat dikaruniai
6 orang anak dan 11 orang cucu. Dia berdomisili di Jl. Sukaasih Atas V No. 348,
Ujungberung, Bandung. Terakhir dia bekerja di Universitas Pasundan (UNPAS)
Bandung sebagai Dosen Ilmu Budaya Sunda di Fakultas Ekonomi dan Fakultas
Teknik.[5]
Ia
menyelesaikan pendidikannya di SR (Sekolah Rakyat) tahun 1954, kemudian
melanjutkan ke SGB (Sekolah Guru B) lulus pada tahun 1958. Setelah itu kemudian
melanjutkan pendidikannya ke SGA (Sekolah Guru A) lulus pada tahun 1961. Beliau
juga pernah menjadi mahasiswa IKIP Bandung Jurusan Geografi meski hanya sampai Sarjana
Muda. Kemudian masuk ke Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung Jurusan
Sastra Daerah (Sunda) lulus pada tahun 1986 dan langsung diangkat menjadi Dosen
di almamaternya. Dikarenakan banyaknya kegiatan di luar kampus yang menyita
waktunya, ia lalu mengajukan pensiun dini setelah mengabdi selama sepuluh tahun
pada tahun 1997.[6]
Hidayat memulai
karirnya dengan menjadi Guru TK pada tahun 1957-1958 di Kuningan. Guru SD
1958-1968 di SDN Cicadas I Bandung. Guru SMP-SMA 1969-1979 di Yayasan Atikan
Sunda Bandung. Kepala Sekolah SMP Yayasan Atikan Sunda 1978-2000.[7]
Dia pernah
menjadi staf ahli Lembaga Kebudayaan Universitas Pasundan (UNPAS) Bandung
setelah tiga periode memimpinnya, Dia juga pengurus Lembaga Bahasa jeung Sastra
Sunda (LBSS) 2000-2005, Pengurus Yayasan Haji Hasan Mustapa, Ketua Daya Sunda
Puseur 1993-2003, Ketua Yayasan Atikan Sunda Bandung 1998 – 2000, Penasehat
Daya Mahasiswa Sunda Bandung, Penasehat Padepokan Penca Daya Sunda, Penasehat
Yayasan Nurhidayah Bandung, Pendiri/penasehat Teater Sunda Kiwari Bandung,
Redaktur Kalawarta Kujang 1966-1978, Tim Penilai buku Dinas Pendidikan Propinsi
Jawa Barat 2003.
Latar belakang keagamaan Hidayat
sangat minim. Menurut pengakuannya ia tidak fasih membaca al-Qur’an apalagi
berbahasa Arab. Keberislamannya adalah Islam warisan/KTP. Oleh karenanya, tidak
heran bila dalam silsilah keluarganya belum ada yang naik haji selain dia dan
itupun dilaksanakan setelah usia lanjut. Pemahamannya terhadap agama lebih pada
praktik. Ia banyak mengenal dan dikenal beberapa pengikut aliran kepercayaan
khususnya dalam lingkungan budaya Sunda sehingga tak heran banyak orang yang
menganggapnya penganut aliran kepercayaan. Dan lebih mengherankan lagi ketika dia
menulis terjemah al-Qur’an (Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an
Winangun Pupuh ) dan naik haji.[8]
Keinginan Raden Hidayat
Suryalaga untuk menerjemahkan al-Qur’an adalah sebuah upaya mendekatkan diri
kepada Allah SWT mengingat usianya beranjak senja, di samping dia menyadari bahwa
itu adalah bagian dari tugasnya sebagai budayawan Sunda yang berjalan bukan
semata-mata karena kebetulan. Karena baginya segala apa yang ada di dunia
adalah bagian dari skenario Allah SWT. [9]
Hasil karya
sastra Hidayat hampir semua menggunakan bahasa Sunda, kecuali makalah-makalah
ilmiah yang disampaikan dalam forum khusus. Karya-karya Hidayat di antaranya
berbentuk sajak, lagu, cerpen, novel, drama, gending karesmen, buku pelajaran
bahasa Sunda, dan makalah-makalah yang berkaitan dengan bahasa, sastra, budaya,
dan sosial.[10]
Beliau juga
sering memberikan ceramah dalam beberapa penataran yang diselenggarakan oleh
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat, Dinas Pariwisata Daerah
Propinsi Jawa Barat dan Sanggar-sanggar Seni (Lingkung Seni Sunda) di kampus
Unpad, Unpas, ITB, Universitas Winaya Mukti, dan lain-lain. Dia juga pernah
meyampaikan makalah dalam penataran para da’i yang dilaksanakan oleh Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Dinas Pendidikan) Propinsi Jawa Barat
dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) Propinsi Jawa Barat, tahun 1991.[11]
Di antara
karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lain : Nur Hidayah Saritilawah
Al-Qur’an 30 Juz - Bahasa Sunda dalam bentuk puisi pupuh 1981-1998, Nurul
Hikmah Nadoman/pupujian dalam bahasa Sunda bersumberkan al-Qur’an, 2000, Etika
dan Tatakrama. 1994, Gending Karesmen dan Dramaturgi, 1995, Kiat
menjadi MC Upacara Adat Sunda Jilid I. Dinas P & K Propinsi Jawa Barat
1996, Wulang Krama 5 Jilid (Pengajaran Tatakrama di SD) 1994, Gapura
Basa Pelajaran Basa Sunda SMP, dkk, 1982-2000, Kasundaan Rawayan Jati,
sundanet.com, 2003, Kiat Menjadi MC Upacara Adat Sunda, jilid 2, Rineka
Budaya Sunda I (Bunga Rampai), Dinas P&K Propinsi Jawa Barat 1997, Wawacan
Lutung Kasarung, 1984.[12]
LATAR BELAKANG PENULISAN
Berawal dari
kesadaran akan masa lalu R. Hidayat Suryalaga yang kurang mengecap pendidikan
keagamaan karena masa kecilnya dihabiskan oleh gonjang-ganjing perjalanan
bangsa menuju kemerdekaan. Sehingga pendidikan keagamaan menjadi hal yang
terabaikan. Kesempatan untuk masantren (menjadi santri di pesantren)
hanyalah angan-angan. Kegiatan keagamaan baginya sudah cukup dengan bisa
melaksanakan kewajiban agama yang pokok dalam praktik kehidupan sehari-hari.[13]
Ketika beranjak
dewasa kesadaran untuk memperdalam ilmu agama semakin menggebu. Mengetahui
banyaknya umat Islam yang sering khatam membaca al-Qur’an namun tidak pernah
khatam membaca terjemah al-Qur’an dan tidak mengerti apa yang terkandung dalam bacaan
al-Qur’an. Hal ini ia ketahui dari beberapa pertanyaan yang sering ia lontarkan
pada forum tertentu terutama perkuliahan dan pelatihan yang diampunya. Sehingga
menimbulkan beberapa pertanyaan dan rasa penasaran terhadap pedoman utama umat
Islam yakni al-Qur’an.[14]
Maka ia memulai
penulisan Nur Hidayah pada tahun 1980-an sebagai pengisi waktu di
sela-sela kesibukannya sebagai dosen, budayawan Sunda dan aktivis dalam
beberapa organisasi kesundaan. Karena tidak fokus dalam mengerjakannya, maka
tak heran bila untuk satu juz saja baru bisa beliau selesaikan dalam jangka
waktu sepuluh tahun.[15]
Pernah suatu
ketika ia merasa ingin menghentikan penulisan Nur Hidayah karena adanya
teguran dari tokoh MUI yang mempertanyakan otoritas keilmuan yang dimiliki
dalam kajian al-Qur’an. Namun ia dimotivasi oleh Ahmad Mansur Suryanegara (Guru
Besar Sejarah Universitas Padjadjaran) bahwa, : “Manusia punya tugas
masing-masing dalam menjalani hidup di dunia dan tugas pak Hidayat ialah
meneruskan penulisan Nur Hidayah karena setiap orang yang menafsirkan
tidak akan pernah mencapai hasil 100% benar,” maka penulisan dilanjutkan
kembali.[16]
Kemudian Hidayat
mendapatkan sebuah kaset tembang Sunda Cianjuran dari Taufiq Faturrahman
(Penerbit CV. Geger Sunten Bandung) yang berisikan puji-pujian Kristen berjudul
“Dina Cangkingan Yesus ; Murid Gusti Resep Muji (Dalam lindungan Yesus;
Murid Tuhan Senang Memuji)” Produksi bersama VG. RS. Immanuel dan Badan
Pekerja Gereja Sinode Gereja Kristen Pasundan. Kaset yang berisikan misi
Kristen ini, syairnya diambil dari Injil dan ditembangkan lewat tembang Sunda
Cianjuran. Merasa penasaran kemudian ia sengaja mencari kaset tembang Sunda
Cianjuran yang berisi ajaran Islam namun tidak mendapatkan, karena pada umumnya
tembang Cianjuran berisikan syair-syair tentang keindahan alam, diri, dan kisah
kasih dua insan.[17]
Sebagai seniman
dan budayawan Sunda ia tahu betul bahwa tokoh-tokoh budayawan Sunda dahulu
menciptakan seni mamaos/tembang/pupuh itu jelas landasannya adalah Islam.
Peristiwa itu mengingatkan dia akan terjemah al-Qur’an Nur Hidayah
Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh yang belum selesai digarapnya.[18]
Beliau percaya
bahwa al-Qur’an diturunkan bukan hanya sebagai bacaan yang sakral tapi
merupakan jawaban dari setiap persoalan hidup manusia. Dalam penafsirannya
beliau menjadikan tafsir karya H.B. Jassin sebagai acuan. Bedanya puitisasi
dengan tembang Sunda (pupuh) menurutnya adalah, bila puitisasi
memadatkan/memeras sedangkan pupuh menjelaskan, memekarkan. Sampai saat ini tidak
mendapat protes.[19]
Sebagai seorang
sastrawan, Hidayat telah membuktikan tugas pentingnya, yaitu berkarya. Dan
sebagai karya sastra, Saritilawah Nur Hidayah sangat layak untuk
dimasukkan sebagai salah satu karya sastra terbaik bahasa Sunda dalam kajian
al-Qur’an.[20]
Dengan demikian
Hidayat bisa menyimpulkan bahwa Islam sebagai ajaran bisa bersinergi dengan
budaya apapun. Ia bisa membuktikan kesejajaran konsep al-Qur’an dengan budaya
Sunda, dan menunjukkan bahwa budaya Sunda bisa menyerap nilai-nilai Islam.[21]
Tujuan dari
penyusunan Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh ini
salah satunya adalah dakwah kultural (dakwah bi al-tamaddun) yang sudah
diniatkan menjadi salah satu tugas hidupnya. Sebagai salah satu usaha
menjadikan budaya Sunda penuh dengan wibawa Islam yang diridhoi Allah SWT
sehingga menjadi salah satu bentuk syiar Islam dan untuk mengakrabkan umat
Islam Sunda dengan pedoman hidupnya yaitu al-Qur’an.[22]
Keinginannya
untuk menembalikan pendidikan ke pendidikan gaya pesantren yang menciptakan
keseimbangan IQ, EQ, dan SQ karena dilihatnya sekarang banyak orang yang tinggi
pengetahuannya tentang Islam namun tidak berperilaku Islami.[23]
SISTEMATIKA PENAFSIRAN
Sistematika
penyajian tafsir yang dimaksud adalah rangkaian yang dipakai dalam penyajian
tafsir. Sebuah karya tafsir, secara teknis bisa disajikan dalam sistematika
penyajian yang beragam.[24]
Pada setiap
penafsiran ataupun penerjemahan, para mufassir berhak untuk menentukan
sistematika yang akan digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an dalam karyanya. Nur
Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh karya R. Hidayat
Suryalaga ini disusun berdasarkan sistematika penafsiran yang paling lazim
digunakan oleh para mufassir dalam penyusunan karya tafsir yaitu tarti<b mus}h}afi<,[25]
atau dalam bahasa Islah Gusmian disebut sistematika penyajian runtut.[26]
Sistematika ini dipakai untuk mempermudah masyarakat luas dalam membaca tafsir
ini ayat demi ayat secara urut dan rinci.
Nur Hidayah
Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh ini
terdiri dari 3 buku, masing-masing buku A, B, dan C. Setiap buku terdiri dari
sepuluh juz. Buku A terdiri dari juz I sampai juz X. Buku B terdiri dari juz XI
sampai juz XX. Buku C terdiri dari juz XXI sampai juz XXX.
Buku A terdiri
dari 437 halaman utama ditambah 20 halaman tambahan yang berisi daftar isi tiap
juz, buku B terdiri dari 504 halaman utama ditambah 20 halaman tambahan, dan
buku C terdiri dari 530 halaman utama ditambah 26 halaman tambahan. Penomoran
halaman pada setiap buku dipisahkan tiap juz.
Pada setiap
buku, setiap juz dipisahkan oleh sampul juz, daftar isi, isi dan kandaga kecap
(glosarium). Masing-masing juz memiliki nomor halaman sendiri. Setiap juz
terdiri dari 38-67 halaman yang memuat sekitar 150 - 300 pupuh. Pupuh yang
dipakai dalam tafsir ini adalah 4 pupuh yang termasuk dalam sekar ageung
yaitu : Asmarandana, Dangdanggula, Kinanti dan Sinom. Setiap pupuh dipisahkan
dengan tema pokok pada tiap ayat atau beberapa ayat. Pergantian antar pupuh
dilakukan apabila ada pergantian tema cerita atau ketika diperlukan.
Setiap juz dalam Nur Hidayah ini berisi
daftar isi, nomor juz, surat yang dikandung, daftar tema yang diurut sesuai
dengan nama pupuh (Asmarandana, Dangdanggula, Kinanti dan Sinom) beserta nomor
halaman diakhiri dengan kandaga kecap (kosakata /vocabularies).
Tafsir atau
terjemah ini berbeda dengan tafsir pada umumnya yang selalu menyertakan
ayat-ayat al-Qur’an dalam setiap penafsirannya yang ditulis dalam huruf Arab. Saritilawah
Nur Hidayah sama sekali tidak menyertakan ayat-ayat yang ditafsirkannya
kecuali lafadz ta’awuz\ dan basmalah pada setiap awal surat dan
juz dan itupun tidak semua, hanya sampai surat ke-78. Mulai surat ke-79 sampai
surat terakhir (surat an-Naas) lafadz ta’awuz\ dan basmalah tidak
ada.
Pada setiap
pupuh terdapat keterangan yang terletak diatas setiap bait pupuh dengan
beberapa angka. Angka pertama menunjukkan nomor bait dalam pupuh, nomor tengah
(angka romawi) menunjukkan juz, nomor yang didahului tanda titik dua (:)
menunjukkan nomor surat dan nomor yang terakhir menunjukkan nomor ayat, tanda
sama dengan (=) menunjukkan bait tersebut isinya meneruskan nomor ayat pada
bait sebelumnya. Contoh :
1/XXI/:29/45 artinya :
1
= bait pertama
XXI = juz XXI
:29 = surat ke-29 (al-‘Ankabut)
45
= ayat 45
2/XXI/:29/=45 artinya
:
2
= bait kedua
XXI = juz XXI
:29 = surat ke-29 (al-‘Ankabut)
=45 = isinya meneruskan ayat 45
Penyusunan karya ini diawali dari sebelah
kiri dengan lampiran pengantar dari Yayasan Nur Hidayah, surat rekomendasi dari
Ketua Umum MUI Propinsi Jawa Barat tahun 1994 yang saat itu dijabat oleh K.H.R
Totoh Abdul Fatah, rekomendasi dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Propinsi Jawa Barat tahun 1994 yang dijabat oleh H. Muchtar Zarkasyi, SH,
rekomendasi dari Direktur Pusat Da’wah Islam Jawa Barat tahun 2002 dijabat oleh
DR. KH. Miftah Faridl, pengantar dari penulis, sumber pustaka dan petunjuk
bacaan.
Selanjutnya R.
Hidayat Suryalaga menerjemahkan dari setiap nama surat dilanjutkan dengan tema
yang terkandung di dalam ayat tersebut dengan gaya bahasa Sunda berbentuk
pupuh. Penafsiran pada setiap ayat terdiri dari satu atau beberapa bait pupuh
disesuaikan dengan panjang pendeknya ayat dan pupuh yang dipakai.
Keteguhan R.
Hidayat Suryalaga dalam memegang erat aturan pupuh memengaruhi tampilan tiap
halaman. Penempatan bait pupuh –karena perbedaan jumlah baris per bait dalam
tiap pupuh–disesuaikan dengan luas halaman demi menjaga pemotongan bait pupuh
sehingga mengakibatkan banyaknya ruang kosong dalam tiap halaman.
Ketika
berbicara tentang metodologi tafsir al-Qur’an, hampir setiap orang merujuk pada
Al-Farmawi<
dengan bukunya Al-
Bida>yah fi< al-Tafsi<r al-Maud}u>’i> yang
memetakan metode penafsiran al-Qur’an menjadi empat bagian pokok : tah}li>li>,
ijma>li>, muqa>ran, dan maud}u>’i>.[27]
Pertama, metode
tah}li>li>,
adalah suatu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat al-Qur’an
yang urutannya sisesuaikan dengan tertib ayat yang ada dalam mushaf al-Qur’an.
Penjelasan makna-makna ayat tersebut, bisa makna kata atau penjelasan umumnya,
susunan kalimatnya, asba>b
al-nuzu>l-nya, serta keterangan yang dikutip dari Nabi, sahabat, maupun ta>bi’i>n.[28]
Kedua, metode ijma>li>,
yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna ayat secara
global. Sistematikanya mengikuti urutan surat al-Qur’an, sehingga
makna-maknanya saling berhubungan. Penyajiannya menggunakan ungkapan yang
diambil dari al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kata atau kalimat penghubung,
sehingga memudahkan para pembaca dalam memahaminya. Dalam metode ini, mufasir
juga meneliti, mengkaji, dan menyajikan asba>b al-nuzu>l ayat
dengan meneliti hadis yang berhubungan dengannya, sejarah, dan asar dari salaf
al-salih. Contohnya adalah Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m karya Muhammad Fari>d
Wajdi>.[29]
Ketiga, metode muqa>ran,
yaitu menafsirkan ayat dengan cara perbandingan. Perbandingan ini dalam tiga
hal : perbandingan antar ayat, perbandingan ayat al-Qur’an dengan hadis, dan
perbandingan penafsiran antar mufasir. Contoh tafsir model perbandingan antar
ayat, yaitu Durrah
al-Tanzi>l wa Gurrah al-Ta’wi>l karya Al-Iska>fi>,
sedangkan yang menggunakan perbandingan antar mufasir ialah Al-Ja>mi’ li Ahka>mi
al-Qur’a>n karya al-Qurthubi>.[30]
Keempat, metode
maud{u’i>,
yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an secara tematis. Metode ini mempunyai dua
bentuk. Pertama, membahas satu surat al-Qur’an dengan menghubungkan
maksud antarayat serta pengertiannya secara menyeluruh. Dengan metode seperti
ini ayat tampil dalam bentuknya yang utuh. Contohnya : al-Tafsir al-Wa>d{ih karya Muhammad Mahmu>d
al-Hija>i. Kedua, menghimpun ayat al-Qur’an yang mempunyai kesamaan
arah dan tema, kemudian dianalisis dan dari sana ditarik kesimpulan. Biasanya
model ini diletakkan di bawah bahasan tertentu. Contohnya : Mar’ah fi al-Qur’a>n karya ‘Abba>s Mahmu>d
al-Aqqa>d.[31]
R. Hidayat Suryalaga menafsirkan ayat
al-Qur’an pada karyanya ini menggunakan metode ijma>li>
(global) karena beliau menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi
mencakup, dengan menggunakan bahasa populer dalam bahasa Sunda, mudah
dimengerti dan enak dibaca. Cara penyajiannya yang berbentuk pupuh menjadikan
orang Sunda tidak merasa asing terhadap apa yang dibacanya karena pupuh dapat
dibaca dengan beberapa cara, baik lancaran ataupun dengan tembang Sunda
yang diiringi kacapi suling sehingga lebih menyentuh rasa kesundaan padahal
makna yang terkandung didalamnya adalah ayat-ayat al-Qur’an. Metode ini
menekankan pada pendekatan maknawi ayat yang diintegrasikan dengan kaidah
(aturan) pupuh Sunda.
Contoh penafsiran
dengan metode ijma>li>
Hidayat dengan pupuhnya dapat dilihat dalam :
PUPUH ASMARANDANA
AJAB TI ALLOH KA KAOM MUSRIKIN
6/XXV/:44/9,10
Tapi malah anu musrik,
Ngaheureuykeun kana Qur’an,
Bari asa-asa hate,
Matak pek bae tungguan,
Ti langit turun ajab,
Ti luhur turun halimun,
Ajab anu nyata pisan.[32]
|
Tapi malah orang musyrik,
Mempermainkan Qur’an,
Dengan keraguan hati,
Maka tunggulah,
Dari langit turun adzab,
Dari atas turun kabut,
Adzab yang sangat nyata.
|
Kutipan ayat di
atas cukup representatif untuk menggambarkan bentuk dan pola penafsiran dengan
metode ijma>li>
yang digunakan penafsir. Begitulah metode yang digunakan penafsir mulai dari
juz awal hingga akhir. Beliau konsisten hanya menafsirkan suatu ayat secara
ringkas, tanpa uraian yang detil dan tanpa perbandingan dan tidak pula
mengikuti suatu tema tertentu.
Contoh di atas
menunjukkan bahwa dalam penafsirannya yang berbentuk pupuh, Hidayat berusaha
untuk lebih menjelaskan makna yang terkandung dalam beberapa ayat supaya dapat
lebih jelas dimengerti oleh khalayak masyarakat Sunda tanpa kemudian terjebak
ke dalam pola tafsir tah{li>li>.
Berbeda dengan
puitisasi al-Qur’an baik yang ditulis oleh H.B Jassin maupun Tgk. Mahjiddin
yang memadatkan kata, Hidayat memaparkan atau memekarkan setiap kata tanpa
mengurangi atau melebihkan makna kata itu sendiri. Dengan menambahkan atau
mengulang beberapa kata keterangan untuk lebih menegaskan arti kata itu.
Contohnya penggalan pupuh Asmarandana dalam menafsirkan surat al-Mu’minu>n
ayat 71 :
“lamun bae pepeling nu tadi/lamun bae eta bebeneran
(andaikan peringatan tadi/ andaikan kebenaran itu).”
Padahal arti
kata yang dimaksud dengan itu hanya “andaikan kebenaran itu”, namun dia ingin
menegaskannya dengan mengulang dan mengganti kata “kebenaran” dengan padanan
katanya yaitu “peringatan”.
Beliau juga
memasukkan beberapa keterangan tambahan yang ditulis dalam footnote pada
kitab rujukan ke dalam bait-bait pupuh. Seperti dalam menafsirkan surat ‘A<li Imra>n ayat
13 dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya yang artinya :
“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang
telah bertemu (bertempur)*. Segolongan berperang di jalan Allah dan
(segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan)
orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya
siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.”[33]
* pertemuan dua golongan itu –antara kaum muslimin dengan kaum
musyrikin, terjadi dalam perang badar. Badar nama suatu tempat yang terletak
antara Mekkah dan Madinah dimana terdapat mata air.
Metode
penafsiran yang digunakan R. Hidayat Suryalaga terasa lebih praktis dan mudah
dipahami oleh mereka yang bisa berbahasa Sunda, apalagi bagi mereka yang
memahami nilai-nilai sastra. Penafsiran beliau tidak berbelit-belit walaupun
menggunakan gaya sastra. Dengan metode ini menjadikan tafsir ini relatif lebih
murni dan terbebas dari pemikiran isra>iliyya>t.[34]
Dengan beberapa
kelebihan di atas bukan berarti metode penafsiran seperti ini tidak memiliki
kekurangan. Karena pembahasan yang dilakukan merupakan pembahasan secara global
dalam suatu ayat, maka sering tidak terperhatikan adanya kaitan satu ayat
dengan ayat yang lain dalam tema bahasan yang sama. Dan juga tidak terbukanya
ruangan yang luas bagi mufasir untuk mengemukakan analisisnya secara memadai
berkenaan dengan pemahaman terhadap suatu ayat.[35]
KESIMPULAN
Dari paparan di
atas beberapa kesimpulan yang dapat di ambil adalah :
1.
Raden Hidayat
Suryalaga adalah seorang budayawan Sunda yang memiliki kemauan yang kuat untuk
menafsirkan al-Qur’an dalam bahasa Sunda.
2.
Karyanya
Nurhidayah membuktikan adanya proses internalisasi Islam Sunda yang sangat
unik.
3.
Metode
penafsiran yang digunakan adalah metode ijmali namun dengan gaya khas yang berpegang
teguh pada pola pupuh.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra,
1989.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,
cetakan II. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.
DEPDIKNAS, KBBI Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2001).
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia ; dari
Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta : Teraju, 2003.
Suryalaga, Hidayat. Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda
Al-Qur’an Winangun Pupuh, Buku C, Juz XXV. Bandung : Nur Hidayah, 2003.
Syarief, Yudi Sirojuddin. Nurhidayah Saritilawah Basa
Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2004.
Sumber Online
http://www.tempo.co/read/news/2010/12/25/178301467/Budayawan-Sunda-Hidayat-Suryalaga-Tutup-Usia
(diakses tanggal 20 Juni 2013).
Yahya, Iip Zulkifli. Saritilawah Nur Hidayah : Karya
Besar Miskin Apresiasi , http://sundanet.com/article/content/189 (diakses
tanggal 10 Februari 2013).
Zimmer,
Benyamin G. Al-Arabiyyah dan Bahasa Sunda
: Ideologi Penerjemahan dan Penafsiran Kaum Muslim di Jawa Barat, Makalah pada Forum Diskusi Reguler Dosen Fakultas Adab, IAIN
Sunan Gunung Djati Bandung, 23 Juni 2000. http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/09/al-arabiyyah-dan-bahasa-sunda/
(diakses 13 Februari 2013).
[1]
Benyamin
G. Zimmer, Al-Arabiyyah dan Bahasa Sunda
: Ideologi Penerjemahan dan Penafsiran Kaum Muslim di Jawa Barat, Makalah pada Forum Diskusi Reguler Dosen Fakultas Adab, IAIN
Sunan Gunung Djati Bandung, 23 Juni 2000. http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/09/al-arabiyyah-dan-bahasa-sunda/
(diakses 13 Februari 2013).
[2]
Pupuh adalah lagu yang terikat oleh banyaknya suku kata di satu bait, jumlah
larik, dan permainan lagu (bentuk lagu tradisional Sunda) DEPDIKNAS, KBBI Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai
Pustaka, 2001).
[3]http://www.tempo.co/read/news/2010/12/25/178301467/Budayawan-Sunda-Hidayat-Suryalaga-Tutup-Usia
[4]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2004), 29.
[5]Biodata
Drs. H. R. Hidayat Suryalaga
[6]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 30.
[7]Biodata
Drs. H. R. Hidayat Suryalaga
[8]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 31.
[9]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 31.
[10]R.
Hidayat Suryalaga, Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh (Bandung : Yayasan Nur Hidayah, 1994) sampul belakang.
[11]R.
Hidayat Suryalaga, Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh (Bandung : Yayasan Nur Hidayah, 1994) sampul belakang.
[12]Biodata
Drs. H. R. Hidayat Suryalaga
[13]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 33.
[14]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 33.
[15]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 33.
[16]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 33.
[17]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 33.
[18]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 33.
[19]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 33.
[20]Iip
Zulkifli Yahya, Saritilawah Nur Hidayah : Karya Besar Miskin Apresiasi , http://sundanet.com/article/content/189
(diakses tanggal 10 Februari 2013).
[21]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh,
33.
[22]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 33.
[23]Yudi
Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun
Pupuh, 33.
[24]Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia ; dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta
: Teraju, 2003), hlm 122.
[25]Sistematika
tarti<b Mus}h}afi< adalah
sistematika tertua dan merupakan sistematika tradisional yang masih bertahan
hingga sekarang. Adapun sistematika yang lain adalah tarti>b nuzuli> atau tarti>b zama>ni>
yakni sistematika penafsiran yang didasarkan pada urutan kronologis turunnya
surat al-Qur’an, misalnya al-Tafsir al-Hadis karya ‘Izzah Darwazah.
Kemudian sistematika maudu’I yaitu penafsiran penafsiran berdasarkan tema-tema
yang akan dibahas, dengan cara menghimpun ayat-ayat yang membahas tema tertentu
dan menempatkannya dibawah judul tertentu dan ditafsirkan mengikuti manhaj
maudu’i. Lihat al-Khulli, Manahij al-Tajdid fi al-Nahwi wa al-Balagah wa
al-Tafsir wa al-Adab (Beirut : Dar al-Ma’rifah,1961), hlm. 306.
[26]Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia, 122.
[27]Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,113.
[28]Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,113-114.
[29]Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,114.
[30]Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,114.
[31]Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,115.
[32]Hidayat
Suryalaga, Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh,
Buku C, Juz XXV (Bandung : Nur Hidayah, 2003), 36.
[33]
Q.S (3) : 13, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang : Toha Putra, 1989),
77.
[34]Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, cetakan II (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2000), 23.
[35]Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, 27.
Kang beli nurhidayah saritilawah basa sunda di mana. Infonya dong urgent🙏
BalasHapus