Senin, 17 Maret 2014

NURHIDAYAH TAFSIR SUNDA PALING UNIK

Oleh : Yudi Sirojuddin Syarief
yusriefbineza@gmail.com

PENDAHULUAN
Salah satu bukti kekayaan intelektual hasil dari asimilasi antara Islam dan Budaya Sunda adalah Tafsir al-Qur’an berbahasa Sunda. Sejatinya Islam dan Sunda adalah dua hal yang berbeda. Intensitas pergulatan antara Islam dan Sunda yang sangat tinggi menyebabkan bukti kekayaan intelektual yang tidak sedikit. Setidaknya sejak Penghulu Haji Hasan Mustapa hingga Hidayat Suryalaga tidak kurang dari 10 karya berhasil ditelurkan. Di antara karya-karya yang berhasil diterbitkan, ada satu karya yang menjadi sorotan. Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh buah karya R. Hidayat Suryalaga.
Benyamin G. Zimmer mengatakan :
“Tafsir Sunda baru yang barangkali paling unik adalah yang disusun oleh R. Hidayat Suryalaga. Pada tahun 1994, Hidayat menerbitkan tafsir juz 1, 2, 3, dan 30, lalu menerjemahkan juz-juz yang lain, dengan judul Saritilawah Basa Sunda. Seperti Haji Hasan Moestapa dan R.A.A. Wiranatakoesoemah V, Hidayat menggunakan bentuk dangding untuk tafsirnya. Uniknya, Karya Hidayat ditulis khusus untuk dipertunjukkan dengan musik tembang Sunda. Ketika diterbitkan Saritilawah Basa Sunda dilengkapi dengan kaset-kaset tembang Sunda. Di samping itu ayat-ayatnya juga dipertunjukkan oleh seniman Sunda dalam siaran Ramadhan TVRI Bandung pada bulan Ramadhan tahun 2000.”[1]
Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh berarti Terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Sunda dalam bentuk pupuh.[2] Karya ini merupakan Karya ini dipilih disebabkan beberapa hal : pertama, karya ini dihasilkan pada penghujung abad ke-20. Kedua, penulis karya ini bukan berasal dari kalangan pesantren, ketiga, mempunyai metode penafsiran yang khas, keempat, menghasilkan penafsiran secara lengkap 30 juz, kelima, menghabiskan waktu 13 tahun untuk menyelesaikannya.


BIOGRAFI PENULIS
Namanya Raden Hidayat Suryalaga, dilahirkan di Ciamis tanggal 16 Januari 1941 dan meninggal 25 Desember 2010.[3] Dia anak kesepuluh dari 11 bersaudara dari pasangan Bapak Raden Oesman Sadli Soemadilaga dan Ibu Raden Padmi Soeradikara. Bapaknya seorang polisi yang sangat mencintai kebudayaan Sunda. Ibunya adalah Ibu rumah tangga yang selalu mendidik anak dengan tata krama Sunda. Kedua orang tuanya adalah seniman dan penghayat kebudayaan, sehingga semua anaknya diharuskan menguasai pencak silat, tari, nyanyi dan berbicara bahasa Sunda.[4]
Hidayat dikaruniai 6 orang anak dan 11 orang cucu. Dia berdomisili di Jl. Sukaasih Atas V No. 348, Ujungberung, Bandung. Terakhir dia bekerja di Universitas Pasundan (UNPAS) Bandung sebagai Dosen Ilmu Budaya Sunda di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Teknik.[5]
Ia menyelesaikan pendidikannya di SR (Sekolah Rakyat) tahun 1954, kemudian melanjutkan ke SGB (Sekolah Guru B) lulus pada tahun 1958. Setelah itu kemudian melanjutkan pendidikannya ke SGA (Sekolah Guru A) lulus pada tahun 1961. Beliau juga pernah menjadi mahasiswa IKIP Bandung Jurusan Geografi meski hanya sampai Sarjana Muda. Kemudian masuk ke Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung Jurusan Sastra Daerah (Sunda) lulus pada tahun 1986 dan langsung diangkat menjadi Dosen di almamaternya. Dikarenakan banyaknya kegiatan di luar kampus yang menyita waktunya, ia lalu mengajukan pensiun dini setelah mengabdi selama sepuluh tahun pada tahun 1997.[6]
Hidayat memulai karirnya dengan menjadi Guru TK pada tahun 1957-1958 di Kuningan. Guru SD 1958-1968 di SDN Cicadas I Bandung. Guru SMP-SMA 1969-1979 di Yayasan Atikan Sunda Bandung. Kepala Sekolah SMP Yayasan Atikan Sunda 1978-2000.[7]
Dia pernah menjadi staf ahli Lembaga Kebudayaan Universitas Pasundan (UNPAS) Bandung setelah tiga periode memimpinnya, Dia juga pengurus Lembaga Bahasa jeung Sastra Sunda (LBSS) 2000-2005, Pengurus Yayasan Haji Hasan Mustapa, Ketua Daya Sunda Puseur 1993-2003, Ketua Yayasan Atikan Sunda Bandung 1998 – 2000, Penasehat Daya Mahasiswa Sunda Bandung, Penasehat Padepokan Penca Daya Sunda, Penasehat Yayasan Nurhidayah Bandung, Pendiri/penasehat Teater Sunda Kiwari Bandung, Redaktur Kalawarta Kujang 1966-1978, Tim Penilai buku Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat 2003.
Latar belakang keagamaan Hidayat sangat minim. Menurut pengakuannya ia tidak fasih membaca al-Qur’an apalagi berbahasa Arab. Keberislamannya adalah Islam warisan/KTP. Oleh karenanya, tidak heran bila dalam silsilah keluarganya belum ada yang naik haji selain dia dan itupun dilaksanakan setelah usia lanjut. Pemahamannya terhadap agama lebih pada praktik. Ia banyak mengenal dan dikenal beberapa pengikut aliran kepercayaan khususnya dalam lingkungan budaya Sunda sehingga tak heran banyak orang yang menganggapnya penganut aliran kepercayaan. Dan lebih mengherankan lagi ketika dia menulis terjemah al-Qur’an (Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh ) dan naik haji.[8]
Keinginan Raden Hidayat Suryalaga untuk menerjemahkan al-Qur’an adalah sebuah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT mengingat usianya beranjak senja, di samping dia menyadari bahwa itu adalah bagian dari tugasnya sebagai budayawan Sunda yang berjalan bukan semata-mata karena kebetulan. Karena baginya segala apa yang ada di dunia adalah bagian dari skenario Allah SWT. [9]
Hasil karya sastra Hidayat hampir semua menggunakan bahasa Sunda, kecuali makalah-makalah ilmiah yang disampaikan dalam forum khusus. Karya-karya Hidayat di antaranya berbentuk sajak, lagu, cerpen, novel, drama, gending karesmen, buku pelajaran bahasa Sunda, dan makalah-makalah yang berkaitan dengan bahasa, sastra, budaya, dan sosial.[10]
Beliau juga sering memberikan ceramah dalam beberapa penataran yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat, Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Barat dan Sanggar-sanggar Seni (Lingkung Seni Sunda) di kampus Unpad, Unpas, ITB, Universitas Winaya Mukti, dan lain-lain. Dia juga pernah meyampaikan makalah dalam penataran para da’i yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Dinas Pendidikan) Propinsi Jawa Barat dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) Propinsi Jawa Barat, tahun 1991.[11]
Di antara karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lain : Nur Hidayah Saritilawah Al-Qur’an 30 Juz - Bahasa Sunda dalam bentuk puisi pupuh 1981-1998, Nurul Hikmah Nadoman/pupujian dalam bahasa Sunda bersumberkan al-Qur’an, 2000, Etika dan Tatakrama. 1994, Gending Karesmen dan Dramaturgi, 1995, Kiat menjadi MC Upacara Adat Sunda Jilid I. Dinas P & K Propinsi Jawa Barat 1996, Wulang Krama 5 Jilid (Pengajaran Tatakrama di SD) 1994, Gapura Basa Pelajaran Basa Sunda SMP, dkk, 1982-2000, Kasundaan Rawayan Jati, sundanet.com, 2003, Kiat Menjadi MC Upacara Adat Sunda, jilid 2, Rineka Budaya Sunda I (Bunga Rampai), Dinas P&K Propinsi Jawa Barat 1997, Wawacan Lutung Kasarung, 1984.[12]

LATAR BELAKANG PENULISAN
Berawal dari kesadaran akan masa lalu R. Hidayat Suryalaga yang kurang mengecap pendidikan keagamaan karena masa kecilnya dihabiskan oleh gonjang-ganjing perjalanan bangsa menuju kemerdekaan. Sehingga pendidikan keagamaan menjadi hal yang terabaikan. Kesempatan untuk masantren (menjadi santri di pesantren) hanyalah angan-angan. Kegiatan keagamaan baginya sudah cukup dengan bisa melaksanakan kewajiban agama yang pokok dalam praktik kehidupan sehari-hari.[13]
Ketika beranjak dewasa kesadaran untuk memperdalam ilmu agama semakin menggebu. Mengetahui banyaknya umat Islam yang sering khatam membaca al-Qur’an namun tidak pernah khatam membaca terjemah al-Qur’an dan tidak mengerti apa yang terkandung dalam bacaan al-Qur’an. Hal ini ia ketahui dari beberapa pertanyaan yang sering ia lontarkan pada forum tertentu terutama perkuliahan dan pelatihan yang diampunya. Sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan dan rasa penasaran terhadap pedoman utama umat Islam yakni al-Qur’an.[14]
Maka ia memulai penulisan Nur Hidayah pada tahun 1980-an sebagai pengisi waktu di sela-sela kesibukannya sebagai dosen, budayawan Sunda dan aktivis dalam beberapa organisasi kesundaan. Karena tidak fokus dalam mengerjakannya, maka tak heran bila untuk satu juz saja baru bisa beliau selesaikan dalam jangka waktu sepuluh tahun.[15]
Pernah suatu ketika ia merasa ingin menghentikan penulisan Nur Hidayah karena adanya teguran dari tokoh MUI yang mempertanyakan otoritas keilmuan yang dimiliki dalam kajian al-Qur’an. Namun ia dimotivasi oleh Ahmad Mansur Suryanegara (Guru Besar Sejarah Universitas Padjadjaran) bahwa, : “Manusia punya tugas masing-masing dalam menjalani hidup di dunia dan tugas pak Hidayat ialah meneruskan penulisan Nur Hidayah karena setiap orang yang menafsirkan tidak akan pernah mencapai hasil 100% benar,” maka penulisan dilanjutkan kembali.[16]
Kemudian Hidayat mendapatkan sebuah kaset tembang Sunda Cianjuran dari Taufiq Faturrahman (Penerbit CV. Geger Sunten Bandung) yang berisikan puji-pujian Kristen berjudul “Dina Cangkingan Yesus ; Murid Gusti Resep Muji (Dalam lindungan Yesus; Murid Tuhan Senang Memuji)” Produksi bersama VG. RS. Immanuel dan Badan Pekerja Gereja Sinode Gereja Kristen Pasundan. Kaset yang berisikan misi Kristen ini, syairnya diambil dari Injil dan ditembangkan lewat tembang Sunda Cianjuran. Merasa penasaran kemudian ia sengaja mencari kaset tembang Sunda Cianjuran yang berisi ajaran Islam namun tidak mendapatkan, karena pada umumnya tembang Cianjuran berisikan syair-syair tentang keindahan alam, diri, dan kisah kasih dua insan.[17]
Sebagai seniman dan budayawan Sunda ia tahu betul bahwa tokoh-tokoh budayawan Sunda dahulu menciptakan seni mamaos/tembang/pupuh itu jelas landasannya adalah Islam. Peristiwa itu mengingatkan dia akan terjemah al-Qur’an Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh yang belum selesai digarapnya.[18]
Beliau percaya bahwa al-Qur’an diturunkan bukan hanya sebagai bacaan yang sakral tapi merupakan jawaban dari setiap persoalan hidup manusia. Dalam penafsirannya beliau menjadikan tafsir karya H.B. Jassin sebagai acuan. Bedanya puitisasi dengan tembang Sunda (pupuh) menurutnya adalah, bila puitisasi memadatkan/memeras sedangkan pupuh menjelaskan, memekarkan. Sampai saat ini tidak mendapat protes.[19]
Sebagai seorang sastrawan, Hidayat telah membuktikan tugas pentingnya, yaitu berkarya. Dan sebagai karya sastra, Saritilawah Nur Hidayah sangat layak untuk dimasukkan sebagai salah satu karya sastra terbaik bahasa Sunda dalam kajian al-Qur’an.[20]
Dengan demikian Hidayat bisa menyimpulkan bahwa Islam sebagai ajaran bisa bersinergi dengan budaya apapun. Ia bisa membuktikan kesejajaran konsep al-Qur’an dengan budaya Sunda, dan menunjukkan bahwa budaya Sunda bisa menyerap nilai-nilai Islam.[21]
Tujuan dari penyusunan Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh ini salah satunya adalah dakwah kultural (dakwah bi al-tamaddun) yang sudah diniatkan menjadi salah satu tugas hidupnya. Sebagai salah satu usaha menjadikan budaya Sunda penuh dengan wibawa Islam yang diridhoi Allah SWT sehingga menjadi salah satu bentuk syiar Islam dan untuk mengakrabkan umat Islam Sunda dengan pedoman hidupnya yaitu al-Qur’an.[22]
Keinginannya untuk menembalikan pendidikan ke pendidikan gaya pesantren yang menciptakan keseimbangan IQ, EQ, dan SQ karena dilihatnya sekarang banyak orang yang tinggi pengetahuannya tentang Islam namun tidak berperilaku Islami.[23]

SISTEMATIKA PENAFSIRAN
Sistematika penyajian tafsir yang dimaksud adalah rangkaian yang dipakai dalam penyajian tafsir. Sebuah karya tafsir, secara teknis bisa disajikan dalam sistematika penyajian yang beragam.[24]
Pada setiap penafsiran ataupun penerjemahan, para mufassir berhak untuk menentukan sistematika yang akan digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an dalam karyanya. Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh karya R. Hidayat Suryalaga ini disusun berdasarkan sistematika penafsiran yang paling lazim digunakan oleh para mufassir dalam penyusunan karya tafsir yaitu tarti<b mus}h}afi<,[25] atau dalam bahasa Islah Gusmian disebut sistematika penyajian runtut.[26] Sistematika ini dipakai untuk mempermudah masyarakat luas dalam membaca tafsir ini ayat demi ayat secara urut dan rinci.
Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh ini terdiri dari 3 buku, masing-masing buku A, B, dan C. Setiap buku terdiri dari sepuluh juz. Buku A terdiri dari juz I sampai juz X. Buku B terdiri dari juz XI sampai juz XX. Buku C terdiri dari juz XXI sampai juz XXX.
Buku A terdiri dari 437 halaman utama ditambah 20 halaman tambahan yang berisi daftar isi tiap juz, buku B terdiri dari 504 halaman utama ditambah 20 halaman tambahan, dan buku C terdiri dari 530 halaman utama ditambah 26 halaman tambahan. Penomoran halaman pada setiap buku dipisahkan tiap juz.
Pada setiap buku, setiap juz dipisahkan oleh sampul juz, daftar isi, isi dan kandaga kecap (glosarium). Masing-masing juz memiliki nomor halaman sendiri. Setiap juz terdiri dari 38-67 halaman yang memuat sekitar 150 - 300 pupuh. Pupuh yang dipakai dalam tafsir ini adalah 4 pupuh yang termasuk dalam sekar ageung yaitu : Asmarandana, Dangdanggula, Kinanti dan Sinom. Setiap pupuh dipisahkan dengan tema pokok pada tiap ayat atau beberapa ayat. Pergantian antar pupuh dilakukan apabila ada pergantian tema cerita atau ketika diperlukan.
Setiap juz dalam Nur Hidayah ini berisi daftar isi, nomor juz, surat yang dikandung, daftar tema yang diurut sesuai dengan nama pupuh (Asmarandana, Dangdanggula, Kinanti dan Sinom) beserta nomor halaman diakhiri dengan kandaga kecap (kosakata /vocabularies).
Tafsir atau terjemah ini berbeda dengan tafsir pada umumnya yang selalu menyertakan ayat-ayat al-Qur’an dalam setiap penafsirannya yang ditulis dalam huruf Arab. Saritilawah Nur Hidayah sama sekali tidak menyertakan ayat-ayat yang ditafsirkannya kecuali lafadz ta’awuz\ dan basmalah pada setiap awal surat dan juz dan itupun tidak semua, hanya sampai surat ke-78. Mulai surat ke-79 sampai surat terakhir (surat an-Naas) lafadz ta’awuz\ dan basmalah tidak ada.
Pada setiap pupuh terdapat keterangan yang terletak diatas setiap bait pupuh dengan beberapa angka. Angka pertama menunjukkan nomor bait dalam pupuh, nomor tengah (angka romawi) menunjukkan juz, nomor yang didahului tanda titik dua (:) menunjukkan nomor surat dan nomor yang terakhir menunjukkan nomor ayat, tanda sama dengan (=) menunjukkan bait tersebut isinya meneruskan nomor ayat pada bait sebelumnya. Contoh :

   1/XXI/:29/45 artinya :
1                         = bait pertama
XXI       = juz XXI
:29          = surat ke-29 (al-‘Ankabut)
45                     = ayat 45

2/XXI/:29/=45 artinya :
2                         = bait kedua
XXI       = juz XXI
:29          = surat ke-29 (al-‘Ankabut)
=45        = isinya meneruskan ayat 45

   Penyusunan karya ini diawali dari sebelah kiri dengan lampiran pengantar dari Yayasan Nur Hidayah, surat rekomendasi dari Ketua Umum MUI Propinsi Jawa Barat tahun 1994 yang saat itu dijabat oleh K.H.R Totoh Abdul Fatah, rekomendasi dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat tahun 1994 yang dijabat oleh H. Muchtar Zarkasyi, SH, rekomendasi dari Direktur Pusat Da’wah Islam Jawa Barat tahun 2002 dijabat oleh DR. KH. Miftah Faridl, pengantar dari penulis, sumber pustaka dan petunjuk bacaan.
Selanjutnya R. Hidayat Suryalaga menerjemahkan dari setiap nama surat dilanjutkan dengan tema yang terkandung di dalam ayat tersebut dengan gaya bahasa Sunda berbentuk pupuh. Penafsiran pada setiap ayat terdiri dari satu atau beberapa bait pupuh disesuaikan dengan panjang pendeknya ayat dan pupuh yang dipakai.
Keteguhan R. Hidayat Suryalaga dalam memegang erat aturan pupuh memengaruhi tampilan tiap halaman. Penempatan bait pupuh –karena perbedaan jumlah baris per bait dalam tiap pupuh–disesuaikan dengan luas halaman demi menjaga pemotongan bait pupuh sehingga mengakibatkan banyaknya ruang kosong dalam tiap halaman.
Ketika berbicara tentang metodologi tafsir al-Qur’an, hampir setiap orang merujuk pada Al-Farmawi< dengan bukunya Al- Bida>yah fi< al-Tafsi<r al-Maud}u>’i> yang memetakan metode penafsiran al-Qur’an menjadi empat bagian pokok : tah}li>li>, ijma>li>, muqa>ran, dan maud}u>’i>.[27]
Pertama, metode tah}li>li>, adalah suatu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat al-Qur’an yang urutannya sisesuaikan dengan tertib ayat yang ada dalam mushaf al-Qur’an. Penjelasan makna-makna ayat tersebut, bisa makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asba>b al-nuzu>l-nya, serta keterangan yang dikutip dari Nabi, sahabat, maupun ta>bi’i>n.[28]
Kedua, metode ijma>li>, yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna ayat secara global. Sistematikanya mengikuti urutan surat al-Qur’an, sehingga makna-maknanya saling berhubungan. Penyajiannya menggunakan ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kata atau kalimat penghubung, sehingga memudahkan para pembaca dalam memahaminya. Dalam metode ini, mufasir juga meneliti, mengkaji, dan menyajikan asba>b al-nuzu>l ayat dengan meneliti hadis yang berhubungan dengannya, sejarah, dan asar dari salaf al-salih. Contohnya adalah Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m karya Muhammad Fari>d Wajdi>.[29]
Ketiga, metode muqa>ran, yaitu menafsirkan ayat dengan cara perbandingan. Perbandingan ini dalam tiga hal : perbandingan antar ayat, perbandingan ayat al-Qur’an dengan hadis, dan perbandingan penafsiran antar mufasir. Contoh tafsir model perbandingan antar ayat, yaitu Durrah al-Tanzi>l wa Gurrah al-Ta’wi>l karya Al-Iska>fi>, sedangkan yang menggunakan perbandingan antar mufasir ialah Al-Ja>mi’ li Ahka>mi al-Qur’a>n karya al-Qurthubi>.[30]
Keempat, metode maud{u’i>, yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an secara tematis. Metode ini mempunyai dua bentuk. Pertama, membahas satu surat al-Qur’an dengan menghubungkan maksud antarayat serta pengertiannya secara menyeluruh. Dengan metode seperti ini ayat tampil dalam bentuknya yang utuh. Contohnya : al-Tafsir al-Wa>d{ih karya Muhammad Mahmu>d al-Hija>i. Kedua, menghimpun ayat al-Qur’an yang mempunyai kesamaan arah dan tema, kemudian dianalisis dan dari sana ditarik kesimpulan. Biasanya model ini diletakkan di bawah bahasan tertentu. Contohnya : Mar’ah fi al-Qur’a>n karya ‘Abba>s Mahmu>d al-Aqqa>d.[31]
   R. Hidayat Suryalaga menafsirkan ayat al-Qur’an pada karyanya ini menggunakan metode ijma>li> (global) karena beliau menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan menggunakan bahasa populer dalam bahasa Sunda, mudah dimengerti dan enak dibaca. Cara penyajiannya yang berbentuk pupuh menjadikan orang Sunda tidak merasa asing terhadap apa yang dibacanya karena pupuh dapat dibaca dengan beberapa cara, baik lancaran ataupun dengan tembang Sunda yang diiringi kacapi suling sehingga lebih menyentuh rasa kesundaan padahal makna yang terkandung didalamnya adalah ayat-ayat al-Qur’an. Metode ini menekankan pada pendekatan maknawi ayat yang diintegrasikan dengan kaidah (aturan) pupuh Sunda.
Contoh penafsiran dengan metode ijma>li> Hidayat dengan pupuhnya dapat dilihat dalam :

PUPUH ASMARANDANA
AJAB TI ALLOH KA KAOM MUSRIKIN

6/XXV/:44/9,10
Tapi malah anu musrik,
Ngaheureuykeun kana Qur’an,
Bari asa-asa hate,
Matak pek bae tungguan,
Ti langit turun ajab,
Ti luhur turun halimun,
Ajab anu nyata pisan.[32]
Tapi malah orang musyrik,
Mempermainkan Qur’an,
Dengan keraguan hati,
Maka tunggulah,
Dari langit turun adzab,
Dari atas turun kabut,
Adzab yang sangat nyata.


Kutipan ayat di atas cukup representatif untuk menggambarkan bentuk dan pola penafsiran dengan metode ijma>li> yang digunakan penafsir. Begitulah metode yang digunakan penafsir mulai dari juz awal hingga akhir. Beliau konsisten hanya menafsirkan suatu ayat secara ringkas, tanpa uraian yang detil dan tanpa perbandingan dan tidak pula mengikuti suatu tema tertentu.
Contoh di atas menunjukkan bahwa dalam penafsirannya yang berbentuk pupuh, Hidayat berusaha untuk lebih menjelaskan makna yang terkandung dalam beberapa ayat supaya dapat lebih jelas dimengerti oleh khalayak masyarakat Sunda tanpa kemudian terjebak ke dalam pola tafsir tah{li>li>.
Berbeda dengan puitisasi al-Qur’an baik yang ditulis oleh H.B Jassin maupun Tgk. Mahjiddin yang memadatkan kata, Hidayat memaparkan atau memekarkan setiap kata tanpa mengurangi atau melebihkan makna kata itu sendiri. Dengan menambahkan atau mengulang beberapa kata keterangan untuk lebih menegaskan arti kata itu. Contohnya penggalan pupuh Asmarandana dalam menafsirkan surat al-Mu’minu>n ayat 71 :

“lamun bae pepeling nu tadi/lamun bae eta bebeneran
(andaikan peringatan tadi/ andaikan kebenaran itu).”

Padahal arti kata yang dimaksud dengan itu hanya “andaikan kebenaran itu”, namun dia ingin menegaskannya dengan mengulang dan mengganti kata “kebenaran” dengan padanan katanya yaitu “peringatan”.
Beliau juga memasukkan beberapa keterangan tambahan yang ditulis dalam footnote pada kitab rujukan ke dalam bait-bait pupuh. Seperti dalam menafsirkan surat ‘A<li Imra>n ayat 13 dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya yang artinya :

“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur)*. Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.”[33]
* pertemuan dua golongan itu –antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin, terjadi dalam perang badar. Badar nama suatu tempat yang terletak antara Mekkah dan Madinah dimana terdapat mata air.

Metode penafsiran yang digunakan R. Hidayat Suryalaga terasa lebih praktis dan mudah dipahami oleh mereka yang bisa berbahasa Sunda, apalagi bagi mereka yang memahami nilai-nilai sastra. Penafsiran beliau tidak berbelit-belit walaupun menggunakan gaya sastra. Dengan metode ini menjadikan tafsir ini relatif lebih murni dan terbebas dari pemikiran isra>iliyya>t.[34]
Dengan beberapa kelebihan di atas bukan berarti metode penafsiran seperti ini tidak memiliki kekurangan. Karena pembahasan yang dilakukan merupakan pembahasan secara global dalam suatu ayat, maka sering tidak terperhatikan adanya kaitan satu ayat dengan ayat yang lain dalam tema bahasan yang sama. Dan juga tidak terbukanya ruangan yang luas bagi mufasir untuk mengemukakan analisisnya secara memadai berkenaan dengan pemahaman terhadap suatu ayat.[35]

KESIMPULAN
Dari paparan di atas beberapa kesimpulan yang dapat di ambil adalah :
1.      Raden Hidayat Suryalaga adalah seorang budayawan Sunda yang memiliki kemauan yang kuat untuk menafsirkan al-Qur’an dalam bahasa Sunda.
2.      Karyanya Nurhidayah membuktikan adanya proses internalisasi Islam Sunda yang sangat unik.
3.      Metode penafsiran yang digunakan adalah metode ijmali namun dengan gaya khas yang berpegang teguh pada pola pupuh.


































DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra, 1989.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, cetakan II. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.
DEPDIKNAS, KBBI Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2001).
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia ; dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta : Teraju, 2003.
Suryalaga, Hidayat. Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, Buku C, Juz XXV. Bandung : Nur Hidayah, 2003.
Syarief, Yudi Sirojuddin. Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2004.

Sumber Online
Yahya, Iip Zulkifli. Saritilawah Nur Hidayah : Karya Besar Miskin Apresiasi , http://sundanet.com/article/content/189 (diakses tanggal 10 Februari 2013).
Zimmer, Benyamin G. Al-Arabiyyah dan Bahasa Sunda : Ideologi Penerjemahan dan Penafsiran Kaum Muslim di Jawa Barat, Makalah pada Forum Diskusi Reguler Dosen Fakultas Adab, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 23 Juni 2000. http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/09/al-arabiyyah-dan-bahasa-sunda/ (diakses 13 Februari 2013).



[1] Benyamin G. Zimmer, Al-Arabiyyah dan Bahasa Sunda : Ideologi Penerjemahan dan Penafsiran Kaum Muslim di Jawa Barat, Makalah pada Forum Diskusi Reguler Dosen Fakultas Adab, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 23 Juni 2000. http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/09/al-arabiyyah-dan-bahasa-sunda/ (diakses 13 Februari 2013).
[2] Pupuh adalah lagu yang terikat oleh banyaknya suku kata di satu bait, jumlah larik, dan permainan lagu (bentuk lagu tradisional Sunda) DEPDIKNAS, KBBI Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2001).
[3]http://www.tempo.co/read/news/2010/12/25/178301467/Budayawan-Sunda-Hidayat-Suryalaga-Tutup-Usia
[4]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2004), 29.
[5]Biodata Drs. H. R. Hidayat Suryalaga
[6]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 30.
[7]Biodata Drs. H. R. Hidayat Suryalaga
[8]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 31.
[9]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 31.
[10]R. Hidayat Suryalaga, Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh (Bandung : Yayasan Nur Hidayah, 1994) sampul belakang.
[11]R. Hidayat Suryalaga, Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh (Bandung : Yayasan Nur Hidayah, 1994) sampul belakang.
[12]Biodata Drs. H. R. Hidayat Suryalaga
[13]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 33.
[14]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 33.
[15]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 33.
[16]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 33.
[17]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 33.
[18]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 33.
[19]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 33.
[20]Iip Zulkifli Yahya, Saritilawah Nur Hidayah : Karya Besar Miskin Apresiasi , http://sundanet.com/article/content/189 (diakses tanggal 10 Februari 2013).
[21]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 33.
[22]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 33.
[23]Yudi Sirojuddin Syarief, Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, 33.
[24]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia ; dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta : Teraju, 2003), hlm 122.
[25]Sistematika tarti<b Mus}h}afi< adalah sistematika tertua dan merupakan sistematika tradisional yang masih bertahan hingga sekarang. Adapun sistematika yang lain adalah tarti>b nuzuli> atau tarti>b zama>ni> yakni sistematika penafsiran yang didasarkan pada urutan kronologis turunnya surat al-Qur’an, misalnya al-Tafsir al-Hadis karya ‘Izzah Darwazah. Kemudian sistematika maudu’I yaitu penafsiran penafsiran berdasarkan tema-tema yang akan dibahas, dengan cara menghimpun ayat-ayat yang membahas tema tertentu dan menempatkannya dibawah judul tertentu dan ditafsirkan mengikuti manhaj maudu’i. Lihat al-Khulli, Manahij al-Tajdid fi al-Nahwi wa al-Balagah wa al-Tafsir wa al-Adab (Beirut : Dar al-Ma’rifah,1961), hlm. 306.
[26]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia, 122.
[27]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,113.
[28]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,113-114.
[29]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,114.
[30]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,114.
[31]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,115.
[32]Hidayat Suryalaga, Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh, Buku C, Juz XXV (Bandung : Nur Hidayah, 2003), 36.
[33] Q.S (3) : 13, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang : Toha Putra, 1989), 77.
[34]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, cetakan II (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), 23.
[35]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, 27. 

1 komentar:

  1. Kang beli nurhidayah saritilawah basa sunda di mana. Infonya dong urgent🙏

    BalasHapus