Senin, 17 Maret 2014

TAFSIR AYAT SUCI LENYEPANEUN KARYA MOH. E. HASIM

Oleh : Yudi Sirojuddin Syarief
yusriefbineza@gmail.com

PENDAHULUAN
Membicarakan Khazanah Tafsir al-Qur’an di Indonesia memiliki daya jangkau yang sangat luas. Hal ini disebabkan oleh luasnya daerah di Nusantara ditambah dengan jumlah penduduknya yang sangat banyak dan mayoritas beragama Islam. Sehingga ketika kita membicarakan tafsir Indonesia maka yang termasuk pada istilah ini ada 3 varian. Pertama, tafsir berbahasa Indonesia atau melayu yang ditulis dengan huruf arab pegon, kedua, tafsir bahasa Indonesia yang ditulis dengan huruf latin, ketiga, tafsir berbahasa daerah.[1]
Di antara ratusan bahasa daerah di Indonesia yang memiliki khazanah tafsir al-Qur’an adalah tafsir berbahasa Sunda. Dalam catatan saya kurang lebih sudah ada 12 karya yang berupaya untuk menerangkan al-Qur’an dengan bahasa Sunda. Salah  satu karya tafsir bahasa Sunda yang paling lengkap (karena terdiri dari 30 jilid dengan menggunakan metode ta>h}li>li>), mutakhir (mulai diterbitkan pada akhir abad ke-20), dan kontekstual (menghubungkan dengan situasi dan kondisi saat ini) adalah Tafsir Ayat Suci Lenyepaneun karya Moh. E. Hasim.

NURHIDAYAH TAFSIR SUNDA PALING UNIK

Oleh : Yudi Sirojuddin Syarief
yusriefbineza@gmail.com

PENDAHULUAN
Salah satu bukti kekayaan intelektual hasil dari asimilasi antara Islam dan Budaya Sunda adalah Tafsir al-Qur’an berbahasa Sunda. Sejatinya Islam dan Sunda adalah dua hal yang berbeda. Intensitas pergulatan antara Islam dan Sunda yang sangat tinggi menyebabkan bukti kekayaan intelektual yang tidak sedikit. Setidaknya sejak Penghulu Haji Hasan Mustapa hingga Hidayat Suryalaga tidak kurang dari 10 karya berhasil ditelurkan. Di antara karya-karya yang berhasil diterbitkan, ada satu karya yang menjadi sorotan. Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh buah karya R. Hidayat Suryalaga.
Benyamin G. Zimmer mengatakan :
“Tafsir Sunda baru yang barangkali paling unik adalah yang disusun oleh R. Hidayat Suryalaga. Pada tahun 1994, Hidayat menerbitkan tafsir juz 1, 2, 3, dan 30, lalu menerjemahkan juz-juz yang lain, dengan judul Saritilawah Basa Sunda. Seperti Haji Hasan Moestapa dan R.A.A. Wiranatakoesoemah V, Hidayat menggunakan bentuk dangding untuk tafsirnya. Uniknya, Karya Hidayat ditulis khusus untuk dipertunjukkan dengan musik tembang Sunda. Ketika diterbitkan Saritilawah Basa Sunda dilengkapi dengan kaset-kaset tembang Sunda. Di samping itu ayat-ayatnya juga dipertunjukkan oleh seniman Sunda dalam siaran Ramadhan TVRI Bandung pada bulan Ramadhan tahun 2000.”[1]
Nurhidayah Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh berarti Terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Sunda dalam bentuk pupuh.[2] Karya ini merupakan Karya ini dipilih disebabkan beberapa hal : pertama, karya ini dihasilkan pada penghujung abad ke-20. Kedua, penulis karya ini bukan berasal dari kalangan pesantren, ketiga, mempunyai metode penafsiran yang khas, keempat, menghasilkan penafsiran secara lengkap 30 juz, kelima, menghabiskan waktu 13 tahun untuk menyelesaikannya.

Melacak Kronologi dan Metodologi Tafsir Sunda

Oleh : Yudi Sirojuddin Syarief

ABSTRAK
Islam dalam pandangan masyarakat Sunda adalah bagian dari dirinya yang tak bisa dipisahkan. Islam Sunda dan Sunda Islam kemudian menjadi sebuah jargon yang mewakili keterpaduan antara masyarakat Sunda dengan agama yang dianutnya yakni Islam. Sejatinya keterpaduan antara Sunda dan Islam dapat dilihat dari karya yang saling memengaruhi satu sama lain. Salah satunya ada dalam ranah tafsir al-Qur’an. Makalah ini dimaksudkan untuk melacak kronologi kemunculan karya tafsir berbahasa Sunda periode abad ke-20, karena lahirnya tafsir di Nusantara baru hadir pada abad tersebut. Tidak hanya itu, tulisan ini juga ingin mengurai metode penafsiran yang dipakai oleh para mufassir dengan menggunakan metodologi penafsiran yang sudah baku.
Kata kunci : Islam, Sunda, Tafsir, Al-Qur’an.

Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup utama umat Islam. Sebagai pedoman, tentunya al-Qur’an harus dapat dipahami maknanya. Untuk dapat memahami makna al-Qur’an diperlukan pengetahuan tentang bahasa Arab. Namun, dalam memahami al-Qur’an tidak hanya pengetahuan bahasa Arab saja yang diperlukan, tapi juga pengetahuan lain yang berkaitan erat dengan al-Quran, seperti : asba>b al-nuzu>l, ilmu qira>’a>t, na>sikh mansu>kh, dll.

Sejatinya bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab. Bahasa al-Qur’an hakikatnya tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun di dunia. Bukan karena tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab, bukan pula karena tidak ada padanan katanya dalam bahasa lain. Namun karena bahasa Arab dijadikan bahasa al-Qur’an bahasa kitab suci sehingga menjadikannya bahasa yang transenden dan sakral. Anehnya, Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang paling banyak dibaca orang dan diulang-ulang lagi membacanya meskipun orang tersebut tidak tahu maknanya.[1]

Sakralitas kebahasaan tidak menjadikan al-Qur’an kemudian tidak diterjemahkan sama sekali. Bahkan berbagai bahasa pernah menerjemahkan al-Qur’an. Artinya disini, dalam pemahaman umat Islam bahasa al-Qur’an tidak dapat digantikan dengan bahasa lain oleh karenanya dalam terjemahan al-Qur’an biasanya redaksi aslinya yang dalam bahasa Arab tetap disertakan disamping terjemahan atau tafsirnya.[2]

Sebagai agama yang datang kemudian, Islam adalah unsur 'luar' bagi orang Sunda. Maka keberislaman orang Sunda dapat diukur dari karya yang dihasilkan atas perpaduan unsur 'dalam' sebagai fitrah masyarakat Sunda, dan unsur 'luar', yakni Islam.[3]

Masyarakat Sunda yang menganggap dirinya adalah bagian yang tak terpisahkan dengan Islam, juga mencoba memahami bahasa al-Quran dengan menerjemahkan bahkan menafsirkan al-Qur’an. Meskipun penerjemahan al-Quran ataupun penafsirannya baru dapat dilaksanakan setelah abad ke-19, namun ternyata karya yang dihasilkannya tidak sedikit.